Popular Post

Posted by : Unknown 7 Apr 2013


            Guru Bahasa Indonesia kami  pernah bercerita tentang seorang anak di suatu desa yang perlu berjalan melewati sungai dan hutan untuk menuju kesekolahnya,keadaan itu banyak sekali terjadi di Indonesia khususnya di tempat-tempat terpencil yang jarang di pantau oleh pemerintah.Keadaan ini sungguh tragis karena bukankan harusnya pemerintah di daerah maupun kota harus lebih mementingkan pendidikan anak bangsa terlebih dahulu baru membangun jalan dan gedung-gedung mewah di kota-kota besar?


Di daerah terpencil banyak anak-anak kecil yang tidak bersekolah dan lebih mementingkan bermain dengan teman atau membantu orang tuanya bertani atau berladang sehingga membuat mereka tidak bisa membaca,menulis,dan menghitung. Apa yang akan terjadi apabila semua anak kecil di daerah terpencil tidak sekolah? Bukankan ini hanya akan semakin membuat Indonesia terpuruk. Anak-anak kecil merupan penerus bangsa di masa yang akan datang sehingga pemerintah dan pejabat Negara harus memikirkan cara untuk menyediakan fasilitas dan sarana pendidikan yang memadai untuk daerah-daerah terpencil seperti di Batam dan Kalimantan maupun di daerah Papua.
Kami akan memberikan contoh cerita yang menyedihkan ini tentang anak di daerah terpencil yang tidak sekolah khususnya di daerah Batam.

Kisah ini berawal :
Seorang anak berusia 12 tahun datang merantau ke Batam, ke tempat keluarganya tepatnya. Kedatangannya dari desa Sorkam, sibolga, Sumatera Utara ke Batam adalah atas permintaan orang tuanya sendiri. Kata orangtuanya anak yang bernama Yanti ini sudah lama berhenti sekolah…sudah hampir 3 tahun katanya.
Ia berhenti sekolah saat masih duduk dibangku kelas 3 SD, dan hanya tahu mengeja saja. Tidak pandai menentukan jam, tidak tahu nama-nama bulan dan sepertinya kemampuannya hanya sebatas anak yang duduk di bangku TK.
Aku tak jenuh bertanya pada orangtuanya juga pada Yanti sendiri kenapa ia tak bersekolah?, namun lagi-lagi hanya senyum simpul dan malu-malu yang kutemukan di wajah mereka. Ada apa gerangan? bukankah di desanya ada sekolah negeri? sungguh gak mengerti sama sekali. Tanda tanya besar muncul di kepalaku…

Aku menawarkannya untuk di sekolahkan di sini (Batam), namun ia berulang kali menangis dan tetap kekeh tidak akan bersekolah lagi kapanpun.  Aku berulang kali menjelaskan manfaatnya sekolah, menunjukkan kepadanya antara yang berprofesi sebagai pemulung dengan yang kerja kantoran, tapi ia tak peduli. Dan herannya lagi…sudah tidak ada berkas apapun lagi yang tersisa untuknya jika ia harus mendaftar sekolah. Tidak ada raport, tidak ada akte lahir, surat pindah atau apapun juga. Sulit!, buntu!…akhirnya aku berinisiatif menjadi guru private khusus untuknya. Setiap malam diajari mulai dari menulis, membaca, mempelajari hitungan sederhana, penambahan, pengurangan dan perkalian, dan mengajarinya pula cara menentukan jam.
Sebenarnya aku sudah cukup sibuk dengan rutinitasku sehari-hari, tapi aku sangat kecewa dengan keadaannya, bisa-bisanya tak bersekolah dan tak tahu apa-apa.
Yanti agak sulit diajari, sifatnya yang keras kepala dan semaunya…membuatku terkadang emosi, namun lama-kelamaan ia akhirnya mengalami banyak kemajuan. Ia bisa menulis dengan lebih rapi, lancar, sudah bisa menentukan jam meskipun agak lama, tahu nama-nama bulan, tahu menjaga kebersihan, tahu tentang penambahan, pengurangan angka-angka puluhan sampai ratusan, tahu juga cara menghitung uang kembalian belanja.,
Aku tetap bertanya padanya alasan ia tak bersekolah, kataku padanya bukankah sekolah itu enak? banyak teman kan di sekolah?. Lalu tahu apa jawabnya…
” Sekolahku itu jauh…harus berjalan ke arah gunung, pokoknya jauh sekali…dan harus menyeberangi sungai yang luas. Pernah satu kali saat hujan lebat, air dalam sungai itu tinggi sekali dan arusnya deras….adikku terseret jauh, kami panik. Untung saja ia kemudian meraih ranting pohon dan tak tenggelam, saat itu kami hanya bisa berteriak memanggil namanya gak bisa ngapa-ngapain karena kamipun sudah lelah menahan tubuh kami untuk tak terseret arus “.
Aku terpukau, di mulutku hanya bisa berkata ” untung kalian bisa berenang…”.
Sejak saat itu aku tak bertanya lagi alasannya berhenti sekolah, melawan alam itu pasti amat sulit, kalau aku diposisinya mungkin aku juga akan menyerah seperti dia. Jadi wajar saja anak-anak di desa hampir tak ada yang punya cita-cita muluk-muluk….bisa makan, tidur, bisa bersekolah hari ini sudah bersyukur…bagaimana besok yah urusan besok. Kalaupun berhenti sekolah, paling juga membantu orang tuanya di ladang, atau begitu puber langsung saja dinikahkan.
Lalu aku bertanya pada suamiku kira-kira apakah benar apa yang dikatakan Yanti itu?, maka suamiku menjawab…” iya benar…harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya…jadi sekolah itu suka-suka saja, gak perlu pakai sepatu karena toh harus lewat sungai, baju basah kering di badan…masih susah sekali di sana, itulah alasannya aku tak pernah mau membawamu ke kampung mereka walaupun sekedar bersilahturamih”.
Itulah juga mungkin yang menjadi alasan, rendahnya mutu sekolah anak-anak di desa…karena mereka sudah terbiasa dimaklumi, keterlambatan mereka dimaklumi, kekurangan mereka dimaklumi.
Bayangkan jika anda menjadi gurunya? apakah harus menggalakkan kedisiplinan dengan memberinya hukuman jika mereka terlambat sampai di sekolah meskipun mereka sudah pagi-pagi buta berangkat dari rumah?. Alasannya macam-macam ada yang harus berenang, menunggu perahu, menghindari binatang liar, terseret arus sungai dan sebagainya….
Dengan alam dan lingkungan yang tak bersahabat tentu saja mutu pendidikan kemudian menurun. Jam belajar di sekolah terbatas…oleh lamanya waktu mereka di jalan. Keterbatasan ekonomi membuat alat bantu belajar tidak memadai….sehingga tak heran duduk di kelas tiga SD ternyata membaca aja masih sulit. Sedangkan anak-anak kita yang di kota di bangku TK mereka sudah pandai membaca.
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Yanti dan aku beranggapan mungkin hanya beberapa desa terpencil saja keadaannya seperti itu…namun melihat tayangan di tv beberapa hari ini, ada anak sekolah yang juga harus menyeberangi sungai dengan digendong orang tuanya… maka aku berpikir sekarang bahwa mungkin seperti itulah kira-kira yang di alami Yanti juga anak-anak lain di pedesaan.
Lalu yang tak habis pikir….aneh sekali..untuk apa sekolah SD negeri dibangun kalau infrastukturnya tak memadai. Lucu bukan?, mungkinkah kita membeli mobil kalau yang ada hanya jalan setapak?, mungkinkah kita bangun istana di tengah hutan, sementara tak ada jalan menuju ke sana?, untuk siapa istana megah itu?,  Tak bisakah membuat jembatan penyeberangan yang aman?. Bangun jembatan memang butuh biaya besar tentunya lebih besar dari biaya membangun sebuah toilet biasa. Tapi  itu kalau toilet biasa loh.., nah kalau toilet luar biasa tentu kebalikannya. Toilet untuk segelintir orang yang dibangun seperti seluncuran di istana marmut pasti lebih berkilau dibandingkan sebuah jembatan sederhana yang bisa dilalui begitu banyak orang, untuk para generasi penerus menuntut ilmu… tapi sayang masih belum sepenuhnya sanggup.
Setiap hujan deras mereka berjuang melawan maut, anak-anak di desa terpencil harus mempertaruhkan nyawa untuk bisa bersekolah…jika tak kuat yah akhirnya putus sekolah.
Lalu anda-anda yang tenang duduk dalam pesawat mewah, pernahkah memandang ke bawah? melihat sungai yang meluap kala hujan, dan anak-anak yang berenang dengan seragam sekolahnya di sana….mencari ilmu memang sulit, yang gratis juga butuh perjuangan.
Anak-anak itu berjalan kaki amat jauh, menyeberangi sungai dan laut untuk mencari ilmu….
Tetap semangat yah…semoga rintik air matamu yang mulai kering masih bisa menggetarkan jiwa. Semoga Menuju Harapan Baru


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Date a live - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes -